Sebetulnya tidak ada yang aneh di balik isu harga rokok yg rerata 13.000 rupiah, lalu melejit menjadi 50.000 rupiah perbungkus. Ini strategi pertempuran yang biasa saja.
Alurnya seperti ini. Kaum antirokok menciptakan studi, di harga berapakah para perokok akan berhenti merokok? Didapatlah harga 50.000 perbungkus. Kemudian penelitian ini didesiminasikan ke beberapa situsweb abal-abal. Diperbesar beserta tim buzzer di dunia maya, plus segala gimmick nan kreatif.
Ketika mulai ramai, maka langkah selanjutnya, mereka melakukan placement di media-media besar yang seakan-akan informasi. Taktik yg digunakan berupa tanggapan tokoh lewat teknik doorstop. Para tokoh diwawancara dengan pertanyaan: ‘Apa tanggapan Bapak/Ibu bersama usulan rakyat bahwa harga rokok sebaiknya dinaikkan menjadi 50.000 perbungkus?’
Dasar elit politik di negeri pencitraan, bukannya bertanya pulang buat mengkritisi, kebanyakan dari mereka berkomentar mendukung naiknya harga rokok. Politikus-politikus macam begitulah yg banyak menjadi korban para pakar hoax dunia maya. Malu bertanya, ancur muka lalu.
Jawaban-jawaban itu lalu dipelintir, ditambah dengan penguatan dari para opinion leaders yang sudah digalang sebelumnya. Jadi itu barang. Isunya terbungkus rapi. Siap dihadiahkan ke ‘leading sectors’ buat diberi tanggapan.
Para jubir di leading sectors ini bukan politikus. Mereka menjawab normatif. Jadilah isu yang semula berasal dari ‘kajian’, berubah menjadi ‘usulan’, bergeser menjadi ‘seakan-akan mau terjadi’, kemudian matang pada isu: ‘telah pasti terjadi’. Masuk itu barang. Ngeri-ngeri sedap. Elok tenan!
Isu makin gurih karena para politikus prorokok juga ikut latah menanggapi. Menari di atas gendang yang dipukul lawan. Plus, perang netizen di dunia maya yg terus berkobar. Sepintas seluruh berjalan dengan sempurna. Isu yang ‘sudah pasti terjadi’ ini tinggal digiling di ‘mesin akhir tim’ yg telah siap di Pemerintah. Para kaum antirokok pasti tahu yang saya maksud…
Tapi ternyata isu dunia maya berikut pelintirannya, berbalik cepat seketika. Pasalnya terdapat dua.
Pertama, bagi para intelektual tertentu, tahu persis bahwa harga rokok naik menjadi 50.000 perbungkus itu tak akan sanggup terjadi. Karena komponen cukai, yg menyebabkan harga rokok selalu naik, punya hukum, aturan, dan perhitungan tersendiri. Ketika para ahli ini mulai berkomentar, arus mulai berbalik.
Kedua, di dunia nyata, para pakar pemasaran serta pakar-ahli taktik pasar setiap pabrik dan toko-toko ritel justru bahagia beserta isu tadi.
Fakta di lapangan, pada kurang-lebih seminggu isu ini bergulir, toko-toko mulai perasaan dampaknya. Para pembeli rokok yang rata-rata membeli sebungkus, kini berubah menjadi dua kemasan. Permintaan pasar naik menjadi dua kali lipat.
Datanglah ke gerai-gerai minimarket, dan tanyalah ke para penjaga maka muka mereka penuh senyum. “Tidak sekalian beli tiga, Pak. Mumpung harga rokok belum naik jadi 50.000 perbungkus, lho…” ucap mereka dengan muka manis sambil menyimpan sejenis senyum tipis, serta membatin, “Bego banget orang ini, tampan-ganteng gampang kena hoax…”
Mbak-mbak SPG yang semula lebih banyak tersenyum daripada menyebutkan soal rokok jualan mereka, mulai minggu kemarin mulai menutup penerangan beserta kalimat, “Mumpung harga rokok belum naik jadi 50.000 lho, Pak…” ujar mereka sembari tersenyum penuh kegelian bila kemudian menyaksikan ada orang yang merasa panik dengan kalimat ancaman itu.
Afiliasi antara para jagoan marketing rokok di lapangan bersama para manajer toko inilah yg membuat rokok laku makin menggila. Isu di dunia maya yg seakan para antirokok menang, justru dipelintir orang-orang marketing pabrik rokok yang memang teruji matang di lapangan.
Arus berbalik dua kali lipat. Di kepala mereka, seolah terdapat doa: “Semoga isu ini bertahan lama… Laris. Laris. Laris, beib!”
Jauh hari sebelum para pakar hoax menjadi profesi, beberapa orang marketing pabrik rokok ini sudah diuji beserta perang dagang sebenarnya, menguasai toko demi toko, kampung demi kampung. Ukuran karier mereka jelas. Tidak ada istilah suka atau tak suka. Tidak terdapat lokasi bagi orang yang lebih suka bicara dibanding bekerja.
Semua berhenti di satu tutur: Omzet.
Mereka sejak dulu telah terlatih menangani isu-isu. “Rokok Marlboro itu bukan dari tembakau, tapi dari kertas. Kalau tak percaya, rendamlah sebatang rokok Marlboro di dalam gelas. Nanti dia akan berubah menjadi kertas.”
Bagi orang yg mendalami dunia rokok, ini sangat menggelikan. Rokok putih menggunakan jenis tembakau virginia. Karakter tembakau virginia memang mirip kertas. Apalagi kalau basah. Sudah pasti mirip kertas.
Mereka, para jagoan marketing pabrik rokok, telah biasa anjlok dengan isu. Djarum pernah diterpa isu: ‘Demi Jesus Aku Rela Untuk Mati’. Omzet langsung jatuh. Tapi kemudian mereka bisa bangkit lagi.
Contoh lain. Salah satu produk Gudang Garam yang semula tumbuh, datang-datang ambruk. Gudang Garam tahu persis kalau satu dari kelemahan rokok ketika itu adalah mudah patah. Mereka kemudian membentuk produk yg dibuat sedemikian rupa sehingga tak mampu patah. Produk premium itu langsung laku di pasar.
Tapi terhenti tiba-datang hanya lantaran satu isu: “Tidak mampu patah karena ada plastiknya.” Begitu isu itu beredar, produk itu langsung wasalam.
Bayangkan, beberapa orang macam ini, yang telah biasa tiap tahun kena isu ‘rokok mengandung babi’, bertarung siang malam beserta para kompetitor, mendapati hoax ‘harga rokok naik menjadi 50.000 perbungkus’, hati mereka bukannya sedih malah merasa riang gembira.
Isu itu diambil alih oleh mereka. Isu yg mestinya bakal bikin orang tak lagi merokok malah menciptakan perokok mengonsumsi rokok dua kali lipat.
Hal seperti inilah yg membuat para aktivis antirokok selalu kemut-kemut. Pusing.
Sebagian dari mereka memang lulusan dari ilmu komunikasi, akan tetapi mereka gagap berbicara bersama masyarakat, dan gagal memahami logika warga . Sebagian dari mereka lagi adalah para wartawan yang gagal menciptakan karier kewartawanan mereka. Kalau menciptakan karier saja gagal, apalagi membentuk rumahtangga? Eh, menciptakan isu, maksud aku.
Sebagian dari mereka yang lain adalah para dokter, akan tetapi telah lama mereka tidak praktek. Soalnya lebih lezat makan uang perdiem daripada uang layanan kesehatan dari pasien. Sudah lupa caranya menyuntik, karena lebih mudah disuntik program dari funding. Ups!
Nah, saat ini saatnya catatan ini masuk ke bagian yg sesuai bersama judul. Bagian yang paling Anda tunggu: Konspirasi Yahudi.
Oke, jadi seperti ini. Saya hanya mau ngecek saja sih. Di badan tulisan ini sudah aku tanam kode-kode digital. Saya hanya sedang ingin tahu, bagaimana sebuah tulisan disebarkan hanya cukup dengan membaca judulnya saja. Tanpa perlu membaca isinya. Atau disebarkan dulu, baru dibaca kemudian.
Jangan kecewa, ya…
*tersenyum culas*
Baca Juga
- Konspirasi Yahudi di Balik Harga Rokok 50.000 Perbungkus
- span classFCUp0c rQMQodImagesspanspan
- Hoax Harga Rokok Rp 50.000 Adalah Kita
- Harga Rokok Naik 50000 Hoax TTCT
- Agustus 2016 Laman 2 Nusagates Blog
- Harga Rokok Naik jadi 50.000 itu Mitos Ini Obrolan Seputar
- Ridwan Kamil Jangan Terlalu Serius dengan Habib Rizieq
- togel singapore hari ini yang akan keluar 2019
- Teori Bumi itu Datar Menggemparkan Jagat Medsos Netizen
- Beberkan Hoax Pemilu Eks Ketua HMI Bicara Konsultan
Berikan Komentar
<i>KODE</i>
<em>KODE YANG LEBIH PANJANG</em>
Notify me
untuk mendapatkan notifikasi balasan komentar melalui Email.